Lama sekali nggk
posting, aku sendiri bingung nih mau posting apa. Namun kali ini aku ingin
sedikit bercerita, yaaa, curhat gitu dah, sekalian mau share info juga sih.
Tetang pengalaman yang menyebalkan saat kembali dari kampung halamanku Lombok
ke Jogja.
Heheee, boleh dooong
curhat dikit.
Yoook, tanpa basa
basi, langsung aja chek it out.
Beberapa hari yang lalu saat akhirnya saya bisa pulang
kampung ke Lombok – NTB, saya merasa sangat senang karena saya bisa berjumpa dengan
keluarga, sanak saudara, family, sahabat dan teman-teman saya.
Namun saya pulang bukan untuk senang-senang, hanya satu
minggu – bukan satu hari di hari Minggu
ya... J
- dirumah untuk mengurus beberapa
surat yang saya kira akan sangat berguna kedepannya nanti, KTP dan juga
rekening saya karena sedikit bermasaalah sehingga saya tidak bisa mengaksesnya.
Tidak butuh waktu lama untuk mengurus itu semua, namun tidak
lama aku akan dirumah. Hari Minggu, kira-kira pukul 18:00 waktu setempat saya
tiba dirumah.
Senin merupakan pagi pertama, seharian saya tidak banyak keluar, ingin melepas lelah didalam perjalanan daru Juanda – Surabaya ke BIL Lombok. Dan baru di hari Selasa hingga pada hari Rabu semuanya kelar dan tidak ada yang diurus lagi termasuk mengantar pesanan temanku kecuali membeli tiket.
Senin merupakan pagi pertama, seharian saya tidak banyak keluar, ingin melepas lelah didalam perjalanan daru Juanda – Surabaya ke BIL Lombok. Dan baru di hari Selasa hingga pada hari Rabu semuanya kelar dan tidak ada yang diurus lagi termasuk mengantar pesanan temanku kecuali membeli tiket.
Sempat berencana kembali ke Jogja memakai pesawat, namun
saat mencari harganya, ternyata kantong saya masih belum cukup untuk itu.
Akhirnya saya memtuskan untuk kembali menggunakan jalur bawah yang lebih murah,
walau aku tahu pasti lebih lama yang artinya pasti lebih melelahkan.
Kamis pagi aku bersama kakaku mencari tiket untuk pulang.
Singkat cerita dapat. Sore jumat jam 17:00 aku sudah haru diterminal untuk
berangkat.
Pagi Jumat, aku sengaja memilih masih disini karena aku
ingin Jumat-an di tempatku. Lama rasanya tidak memijakkan kaki di Masji
Al-Mutaqin Desa Mangkung tempat kelahrianku.
Siang setelah Jumat-an mulai prepare untuk kembali. Seperti
biasa, sebelum melangkahkan kaki dan mengucap salam, pamitan dulu sama keluarga
dan yang lainnya.
Perjalananpun untuk kembali aku mulai. Diantar oleh kakak ke
terminal hingga naik BUS.
T*+*A Mas - disensor, itulah nama perusahaan bus itu. Aku
kira aku akan menggunakan bus yang panjang dan besar disebelahnya karena masih
bertuliskan tulisan yang sama dengan bus ini. Tetapi lebih kecil dan lebih ***,
dan saat aku masuk, bau tak sedap menyapa, tak apa lah.
Baru berjalan beberapa meter keluar dari terminal, busnya
berhenti di depan kantor persuahaannya. Setidaknya aku tahu diaman kantor bus
ini sekarang. Sedikit lama memnunggu, ternyata semua penumpang dipindahkan. Aku
tahu saat aku juga disuruh untuk pindah ke bus yang lebih besar dan lebih
bagus, aku kira sekarang menjadi lebih baik.
Memang dibandingkan yang sebelumnya, bus ini jauh lebih
baik. Pantas saja, seperemat dari bus yang tadi itu isinya paket sedangkan yang
sekarang ini penumpang semua. Aku kira bus ini akan terisi sampati penuh, tapi
banyak kursi yang kosong sudah jalan.
Pertigaan pertama mulai belok kiri masuk di jalur yang lebih
sempit. Ternyata beberapa bus juga parkir disana, aku kira dibawah satu
perusahaan yang sama.
Disinilah kegelisahan mulai terjadi. Sejak mulai dari saat
itu, sementara kakak saya sudah pulang sedari saya naik bis tadi bahkan saat
ini dia sms sudah tiba dirumah, padahal jarak tempuh ke rumah saya kira-kira
satu jam, tapi bus ini masih belum jalan juga.
Bahkan sampai gelap malam menyapa bus ini masih belum jalan
juga, samapi kami semua yang ada dialam bus itu bosan dan kepanasan, masih
belum jalan juga. Sampai ada yang makan hingga keluar masuk berkali-kali, masih
tetap ditempat. Tapi mesin bus ini teidak pernah mati sedari tadi sore.
Dan akhirnya aku keluar untuk melihat apa yang terjadi,
ternyata para crew dari T*+*A Mas itu sedang bongkar paket untuk dipindahkan ke
bus ini. Bus ini dirancang untuk penumpang, bukan untuk paket, akbinatnya paket
yang sekian banyak tidak mempunyai ruang di bus ini. Memakai sedikit kursi
belakang jelas tidak mungkin dan tidak muat, akhirnya dinaikkannya paket-paket
itu ke atas bus ini. Itulah yang menyita waktu kami karena paket itu
besar-besar dan berat sehingga mereka kesusahan saat menaikkannya.
Sekitar 20:lewat, barulah kami memuali perjalanan.
Seharusnya sedari jam 17:00 tadi sore kamu sudah berjalan, tapi karena ganti
bus akhirnya seperti ini. Belum lagi ditambah macet dimana-mana dan meunggu
saat masuk kapal.
Beberapa kejadian lucu yang aku rekam dalam ingatan saat
diperjalanan. Pengamen, hal yang lumrah kalau dudalam bus seperti ini, pengamen
dan penjual jajakan. Tak tanggung-tanggung, pengamennya pun berbagai jenis
profesinya. Ada yang menyanyi dengan gitar, bahkan ada juga yang hanya modal
suara saja. Ya mending kalau sauaranya bagus, ini masih lebih bagus suara saya
– ya kalau saya boleh bilang seperti itu,
J.
Tapi renyata ada yang lebih parah lagi, ada seseorang muda dan saya kira
masih layak pakai kalau ingin bekerja. Anehnya, dia mengamen hanya dengan
suaranya saja. Ya masih mending suaranya bagus, saya rasa kurang tepat kalau
dibilang bagus. Suaranya... tidak jelas, tidak bersuara malah. Seperti orang
yang bisu, tidak bisa bicara. Lalu apa yang ditampilkannya, tidak ada, hanya
modal tampang saja, masuk dan bersuara didalam bus itu.
Hmmmm.....
Hmmmm.....
Hmmmm.....
Hanya itu saja, dari awal sampai akhir. Eee, ujung-ujungnya
itu topi dibuka dan dibaliknya, ditodong ke seluruh penumang. Baru akhirnya aku
tahu dan mengerti ternyata dia itu pengamen. Ingin ketawa rasanya tapi tidak
enak menertawakan orang.
Dan akrinya bus ini masuk kapal, setelah pengamen yang keluar
masuk silih berganti bersama para penjual jajakan.
Aku hanya seorang, dan dikapalpun tak ada teman. Ya, itung
itung pengalaman, cerita hidup.
Semakin larut dan semakin larut, malam semakin larut. Hampir
semua penumpang tidur dalam perjalanan panjang ini. Sekitar lima jam dari Pulau
Lombok ke Pulau Bali didalam perjalanan. Aku pun tertidur ditengah guncanan
kapal ini.
Tengah malam aku banung, aku melihat setitik cahanya yang
turun naik - turun naik, aku kira aku salah lihat. Kok ada cahanya yang turun naik
– tutun naik seperti itu, setelah lama aku perhatikan, ternyata itu disebapkan
guncangn kapal ini. Guncangan yang kencang. Akupun kembali tidur.
Dan saat aku bangung kembali, sudah semakin dekat dengan
pelabuhan. Dan tiupan terompet terakhir dari kapal ini sekaligus untuk
membanungkan semua penumpang yang tidur agar untuk turun. Aku pun kembali ke
bus untuk melaju.
Kembali, sekitar pukul dua pagi, bus ini terjebak macet
hingga berkilo-kilo. Sepanjang bahkan hingga pagi di Pualu Bali, bus ini masih
dalam macet. Aku kira sopirnya yang
lelet, ternyata depan belakang sama.
Setidaknya aku dapat menikmati pemandangan pagi di Pulau
Dewata itu yang begitu menakjubkan. Sayangnya tidak ada camera untuk
mengabadikan gambar itu.
Ternyata dimana-mana, banyak sekali puso yang tumbang dan
tabrakan. Itulah penebap utama kemacetan ini. Kalau hanya satu dua mungkin
sedikit, lebih dari lima puso yang tumbang dan tabrakan hingga membuat
kemacetan sepanjang ini. Sungguh, sangat melelahkan.
Kira-kira jam depalan pagi, baru terbebas dari jebakan macet. Setidaknya
sekarang menjadi lebih baik. Tapi sayang,
pak sopir tidak bisa kompromi. Aku yakin, kecepatannya tidak lebih dari
60 km/h. Itu baru keluar dari macet saja, belum lagi menuju Pelabuhan Ketapang
– Bali untuk menyebrang ke Banyuangi -
Surabaya, masih sangat jauh.
Tapi, pak sopir tetap mengutamakan keselamatan, kecepatan
tidak pernah lebih dari 60 km/h tak peduli waktu yang penting selamat sampai
tujuan. Bahkan saat akan menyalip, sudah samapi pertengahan mobil yang mau
disalip sedangkan mobil yang didepan masih belum jelas adanya, eee mundur lagi
kebelakang. Tidak tahu apakah demi keselamatan atau sopirnya takut. Berbagai
komentar dari penumpang dibelakang, tak dihiraukannya.
Ditengah-tengah hal itu, perutku terasa mual mau melepas
gas, wiiiih rasanya sudah tak tahan lagi. Beberapa kali keluar saking tak
tertahankan, keluar tanpa suara dan bau, syukur masih bisa diatasi. Yang
terakhir, bukan mau lepas gas lagi, tapi mau kurangi beban didalamnya, sudah
gak tahan karena terlalu lama ditahan.
Akhirnya bus ini tiba di Pelabuhan Ketapang – Bali untuk
penyebrangan ke Ketapang – Surabaya. Jauh di sisi kanan terminal ada tulisan
“Mushollah dan Toilet”. Bus ini
berhenti untuk menunggu masuk kapal, kapal juga masih lama. Ini kesempatanku
untuk mengatasi masalahku.
Akhirnya aku turun dan berlari ke arah Toilet untuk melepas
beban. Dan beeeeeh, akhrinya satu masalah kelar. Suara terompet bus mau melaju,
tak peduli, paling cuman maju dikit.
Benar saja, saat aku keluar, ternyata bus nya sudah tidak
ada. Aku kira aku sudah ketinggalan kapal, tapi hanya maju beberapa pandangan
saja dan akupun menuju bus itu untuk meunggu masuk kapal.
Singkat cerita, aku masuk kapal. Satu jam setelahnya,
sampaliah kami di Banyuangi – Surabaya. Ya, seperti biasa, bus tidak bisa lebih
dari 60 km/h. Beberapa kecelakaan dijalanan yang menyebapkan macet, turut
menyumbang lambatnya perjalanan.
Tapi sekarang ada yang berubah, jika barusan penumpang ada
yang teriak “pak sopir, gak usah ngebut, gak usah nyapip, yang penting selamat”
sekarang menjadi “pak sopir, pelan saja yang penting makan dulu” karena kami
hanya dikasih makan satu kali, itupun kemarin sore. Jelas sekarang ingin makan
lagi.
Aku kira akan diajak ke restoran paling enak, setelah
berjam-jam muter yang tak berujung, akhirnya sampai juga di warung makan
ditengah jalan menuju surabaya. Aku kira akan mendapatkan makanan yang enak dan
banyak, ternyata nasinya masih diambilkan – tidak ngambil sendiri, tau sendiri
lah kalau diambilin kayak gimana. Dan yang lebih parah, saat aku dapat giliran,
lauknya dikasi udang bakar yang kira-kira sebesar jari telunjuk untuk ukuran
paling besar sebanyak tiga udang dalam satu tusuk, dan hanya dikasih satu
tusuk. Sayurnya, hanya sayur rendang, tidak ada yang lain. Saat aku cedok
kebawah, yang naik malah ampasnya. Syukur dapat potongan tahu satu, gak apalah
makan seadanya.
Malang sekali nasip kami, aku kira kata kami sangat cocok
karena aku tidak sendiri disini melainkan bersama penumpang yang lainnya juga.
Dan singkat cerita, kecepatan dibawah 60 km/h, kami yang
seharusnya tiba di surabaya sedari jam 5 sore tadi, kini menjadi jam sembilam
malam. Alhasil, aku bersama 5 orang lainnya yang membeli tiket langsung ke
tujuan, tidak dapat bus lanjutan.
Disini terjadi perdebatan atara seorang penumpang dengan
crew T*+*A Mas, merek kurang bertanggung jawab terhadap kami. Kami memaksa
untuk diantar sekarang, tapi merek malah bilang “Kita sudah ketinggalan bus,
mau tidak mau perjalanan di lanjutkan besok pagi” ya jelas gak mungkin lah, terkhusus
untuk aku sendiri yang jarak tempuh 8 – 9 jam Surabaya Jogja. Dan aku juga gak
yakin, besok pagi akan berangkat pagi-pagi, bisa-bisa aku nyampai Jogja sore,
salah-salah malam.
Menelopone petugasnya yang di Lombok, HP ku mati. Salah
seorang diatara kami, menelopone petugas yang di Lombok dan meminta pertanggung
jawaban, aku kira tak membuahkan hasil. Bahkan yang berdebat tadi itu sudah
duduk santai disampingku menyerah, karena percuma ini adalah perdebatan yang
tak berujung.
Katanya, uang hanya pas mereka bawa untuk bensin dan biaya
hidup, jika ingin membiayayai kami, itu tidak bisa. Akhirnya karena aku tidak
mau nyampe Jogja sore apalagi malam, mau tidak mau aku yang menalah. Lagian aku
kira Surabaya ke Jogja juga tidak makan 100 rb.
Aku meminta salah satu atara sopir dan kornetnya mencarikan
aku bus yang ke Giwangan – Jogja. Eee, aku sudah berbaik hati mereka malah acuh
tak acuh. Hingga akhirnya aku dicarikan Bus oleh sopirnya.
Singkat cerita aku tidak mau tahu lagi urusan mereka, aku
melanjutkan perjalanan. Apalah artinya 50 rb dibandingkan kelelahan yang akan
aku dapatkan jika jalan besok pagi. Setelah melepas sebungkus roti untuk
teman-teman yang disana, karena aku melihat mereka belum makan bahkan tidak
bawa makanan sedari kemarin selain kecuali dikasih. Aku ucapkan salam
perpisahan.
Aku pun melaju ke jogja.
Penalaman adalah guru terbaik, itu yang aku kenang. Tidak
akan aku sarangkan, siapapun untuk naik Bus itu, T*+*A Mas, jangan samapi
kalian meniki bus ini sehingga mengalami kejadian yang sama seperti aku.
Ciri-ciri bus itu adalah, warna latar merah, penumpangnya
dominan warga Bima – NTB, ada gambar mahkota disamping tulisan T*+*A Mas.
Semoga perusahan bus itu semakin maju.
Perjalanan yang menyebalkan.
Yogyakarta, 17 Desember 2012
Oget
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan komentar anda. Kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan untuk lebih baik kedepannya.