Permasalahan hukum di
Indonesia terjadi karena beberapa hal, baik dari sistem peradilannya, perangkat
hukumnya, inkonsistensi penegakan hukum, intervensi kekuasaan, maupun
perlindungan hukum . Diantara banyaknya permasalahan tersebut, satu hal yang
sering dilihat dan dirasakan oleh masyarakat awam adalah adanya inkonsistensi
penegakan hukum oleh aparat. Inkonsistensi penegakan hukum ini kadang
melibatkan masyarakat itu sendiri, keluarga, maupun lingkungan terdekatnya yang
lain (tetangga, teman, dan sebagainya). Namun inkonsistensi penegakan hukum ini
sering pula mereka temui dalam media elektronik maupun cetak, yang menyangkut
tokoh-tokoh masyarakat (pejabat, orang kaya, dan sebagainya).
Kasus-kasus
inkonsistensi penegakan hukum di Indonesia terjadi karena beberapa hal. Antara
lain
1.
Tingkat Kekayaan Seseorang
Salah satu keputusan kontroversial yang terjadi pada bulan Februari ini
adalah jatuhnya putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) terhadap
terpidana kasus korupsi proyek pemetaan dan pemotretan areal hutan antara
Departemen Hutan dan PT Mapindo Parama, Mohammad “Bob” Hasan . PN Jakpus
menjatuhkan hukuman dua tahun penjara potong masa tahanan dan menetapkan
terpidana tetap dalam status tahanan rumah. Putusan ini menimbulkan rasa ketidakadilan
masyarakat, karena untuk kasus korupsi yang merugikan negara puluhan milyar
rupiah, Bob Hasan yang sudah berstatus terpidana hanya dijatuhi hukuman tahanan
rumah. Proses pengadilan pun relatif berjalan dengan cepat. Demikian pula yang
terjadi dengan kasus Bank Bali, BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia), kasus
Texmaco, dan kasus-kasus korupsi milyaran rupiah lainnya.
2.
Tingkat Jabatan Seseorang
Kasus Ancolgate berkaitan dengan studi banding
ke luar negeri (Australia,
Jepang, dan Afrika Selatan) yang diikuti oleh sekitar 40 orang anggota DPRD DKI
Komisi D. Dalam studi banding tersebut anggota DPRD yang berangkat memanfaatkan
dua sumber keuangan yaitu SPJ anggaran yang diperoleh dari anggaran DPRD DKI
sebesar 5.2 milyar rupiah dan uang saku dari PT Pembangunan Jaya Ancol sebesar 2,1 milyar rupiah.
Dalam kasus ini, sembilan orang staf Bapedal dan Sekwilda dikenai tindakan
administratif, sementara Kepala Bapedal DKI Bambang Sungkono dan KepalaDinas Tata Kota DKI Ahmadin Ahmad tidak dikenai tindakan apapun.
Dalam kasus ini, terlihat penyelesaian masalah dilakukan segera setelah media cetak dan elektronik menemukan ketidakberesan dalam masalah pendanaan studi banding tersebut. Penyelesaian secara administratif ini seakan dilakukan agar dapat mencegah tindakan hukum yang mungkin bisa dilakukan. Rasa ketidakadilan masyarakat terusik
tatkala sanksi ini hanya dikenakan pada pegawai rendahan. Pihak kejaksaan pun terkesan mengulur-ulur janji untuk mengusut kasus ini sampai ke pejabat tertinggi di DKI, yaitu Gubernur Sutiyoso, yang sebagai komisaris PT Pembangunan Jaya Ancol ikut bertanggungjawab.
Untuk lebih lengkapnya, langsung aja download disini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan komentar anda. Kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan untuk lebih baik kedepannya.